Hercules, Sang Penguasa Tanah Abang
Ia merupakan seorang pejuang yang pro
terhadap NKRI ketika terjadi ketegangan Timor-timur sebelum akhirnya
merdeka pada tahun 1999. Maka tak salah jika sosoknya yang begitu
berkarisma ia dipercaya memegang logistik oleh KOPASUS ketika menggelar
operasi di Tim-tim.
Namun nasib lain hinggap pada dirinya, musibah
yang dialaminya di Tim-tim kala itu memaksa dirinya menjalani perawatan
intensif di RSPAD Jakarta. Dan dari situlah perjalanan hidupnya menjadi
Hercules yang di kenal sampai sekarang, ia jalani.
Hidup di
Jakarta tepatnya di daerah Tanah Abang yang terkenal dengan daerah
‘Lembah Hitam’, seperti diungkapkan Hercules daerah itu disebutnya
sebagai daerah yang tak bertuan, bahkan setiap malamnya kerap terjadi
pembacokan dan perkelahian antar preman.
Hampir setiap malam
pertarungan demi pertarungan harus dia hadapi. “Waktu itu saya masih
tidur di kolong-kolong jembatan. Tidur ngak bisa tenang. Pedang selalu
menempel di badan. Mandi juga selalu bawa pedang. Sebab setiap saat
musuh bisa menyerang,” ungkapnya.
Rasanya tidak percaya
Hercules preman yang paling ditakuti, setidaknya di kawasan Pasar Tanah
Abang, Jakarta. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Badannya kurus. Hanya
tangan kirinya yang berfungsi dengan baik. Sedangkan tangan kananya
sebatas siku menggunakan tangan palsu. Sementara bola mata kanannya
sudah digantikan dengan bola mata buatan.
Tapi setiap kali nama
Hercules disebut, yang terbayang adalah kengerian. Banyak sudah cerita
tentang sepak terjang Hercules dan kelompoknya. Sebut saja kasus
penyerbuan Harian Indopos gara-gara Hercules merasa pemberitaan di
suratkabar itu merugikan dia. Juga tentang pendudukan tanah di beberapa
kawasan Jakarta yang menyebabkan terjadi bentrokan antar-preman.
Tak
heran jika bagi warga Jakarta dan sekitarnya, nama Hercules identik
dengan Tanah Abang. Meski tubuhnya kecil, nyali pemuda kelahiran Timtim
(kini Timor Leste) ini diakui sangat besar. Dalam tawuran
antar-kelompok Hercules sering memimpin langsung. Pernah suatu kali dia
dijebak dan dibacok 16 bacokan hingga harus masuk ICU, tapi ternyata tak
kunjung tewas. Bahkan suatu ketika, dalam suatu perkelahian, sebuah
peluru menembus matanya hingga ke bagian belakang kepala tapi tak juga
membuat nyawa pemuda berambut keriting ini tamat. Ada isu dia memang
punya ilmu kebal yang diperolehnya dari seorang pendekar di Badui Dalam.
Ternyata,
di balik sosok yang menyeramkan ini, ada sisi lain yang belum banyak
diketahui orang. Dalam banyak peristiwa kebakaran, ternyata Hercules
menyumbang berton-ton beras kepada para korban. Termasuk buku-buku tulis
dan buku pelajaran bagi anak-anak korban kebakaran. Begitu juga ketika
terjadi bencana tsunami di beberapa wilayah, Hercules memberi sumbangan
beras dan pakaian.
Bahkan juga bantuan bahan bangunan dan semen
untuk pembangunan masjid-masjid. Sisi lain yang menarik dari Hercules
adalah kepeduliannya pada pendidikan. “Saya memang tidak tamat SMA.
Tapi saya menyadari pendidikan itu penting,” ujar ayah tiga anak
ini.
Maka jangan kaget jika Hercules menyekolahkan ketiga anaknya
di sebuah sekolah internasional yang relatif uang sekolahnya mahal.
Bukan Cuma itu, ketika Lembaga Pendidikan Kesekretarisan Saint Mary
menghadapi masalah, Hercules ikut andil menyelesaikannya, termasuk
menyuntikan modal agar lembaga pendidikan itu bisa terus berjalan dan
berkembang.
Olo Panggabean, The Real Medan
Godfather
Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah
Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam
bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Pada masa hidupnya, untuk
menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara
gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu
tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari
kemanapun dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan.
Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak
mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto.
Sosoknya
sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala
Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup
sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun
cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti
mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam.
“Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai
sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa. Meski begitu, pengawal
rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar
buah kelapa.
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari
organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution
alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66′. Tanggal 28
Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah
mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah
kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan
oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang
didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral
Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari
Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak
Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK Olo kemudian
membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek
kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan “Ketua.” Selain
kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat
kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang
sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal
tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang
berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah
dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa
Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah
diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat
Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses
menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan
ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade
mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa
tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan rekannya.
Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu
memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada
pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu
menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun
panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil
sebagai penyampai pesan.
Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto
pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah
sedikit banyak mengalami penurunan.[1]. Semasa Sutanto menjadi Kapolri,
bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil
memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal
yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo
dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin ,
Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.
Pada akhir 2008, Olo
Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini,
kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya
oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar
di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Namun terlepas dari apa kata orang
terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan
hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap
kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Kisah
sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng
Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura,
tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu
sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang
Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi
caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar,
tapi orangtuanya tidak mampu. Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko
Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah
Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan
saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan
pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar
pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan
menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka
mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak
orang tereyuh dan orng tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena
terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo
masih bersedia menyambutnya di Bandara.
Kisah kedermawanan Ketua
sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak
sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain
berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo
telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam 14.00 di rumah sakit
Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun.
Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip.
John Kei,
Big Boss Asal Maluku Utara
Jhon Refra Kei atau yang biasa disebut Jhon Kei, tokoh
pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Namanya
semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara pula, Basri
Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn di
Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu
Padahal dua nama tokoh
pemuda itu seperti saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar.
Dengan kematian Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama
kelompoknya seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta.
Untuk
diketahui, Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda
Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara. Mereka berhimpun
pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama resmi
himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan Jhon Kei sebagai
pimpinan. Ia bahkan mengklaim kalau anggota AMKEI mencapai 12 ribu
orang.
Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya
sebagai debt collector alias penagih utang. Usaha jasa penagihan utang
semakin laris ketika kelompok penagih utang yang lain, yang ditenggarai
pimpinannya adalah Basri Sangaji tewas terbunuh. Para ‘klien’ kelompok
Basri Sangaji mengalihkan ordernya ke kelompok Jhon Kei. Aroma menyengat
yang timbul di belakang pembunuhan itu adalah persaingan antara dua
kelompok penagih utang.
Bahkan pertumpahan darah besar-besaran
hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang,
golok, celurit saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu
sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji.
Beruntung 8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat
mencegah terjadinya bentrokan itu.
Sebenarnya pembunuhan terhadap
Basri ini bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari
bentrokan antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik
Stadium di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu.
Saat itu kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu.
Namun mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan
itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik
tersebut tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak cepat,
beberapa pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan
di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama
saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota
kelompok Basri dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei
yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang
pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon
Key, hal ini menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri,
selain persaingan bisnis juga ditunggangi dendam pribadi.
Pada Juni 2007 aparat Polsek
Tebet Jaksel juga pernah meminta keterangan Jhon Key menyusul bentrokan
yang terjadi di depan kantor DPD PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46
Jaksel. Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan
kelompok Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor
itu. Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok ini juga pernah
mengamuk di depan Diskotik Hailai Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di
sana tanpa sebab yang jelas.
Sebuah sumber dari seseorang yang
pernah berkecimpung di kalangan jasa penagihan utang menyebutkan, Jhon
Kei dan kelompoknya meminta komisi 10 persen sampai 80 persen.
Persentase dilihat dari besaran tagihan dan lama waktu penunggakan.
“Tapi setiap kelompok biasanya mengambil komisi dari kedua hal itu,”
ujar sumber tersebut.
Dijelaskannya, kalau kelompok John, Sangaji
atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt Collector Ibukota biasanya
baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta. Menurutnya, jauh sebelum
muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan utang
terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan gembong
perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat Johny Sembiring dibunuh
sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun 1996
lalu.
Kalau kelompok tiga besar itu biasa main besar dengan
tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu biasanya dialihkan ke
kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya pun dilihat dari lamanya
waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar maka semakin besar pula
komisinya,” ungkap sumber itu lagi.Dibeberkannya, kalau utang yang
ditagih itu masih di bawah satu tahun maka komisinya paling banter 20
persen. Tapi kalau utang yang ditagih sudah mencapai 10 tahun tak
terbayar maka komisinya dapat mencapai 80 persen.
Bahkan menurut
sumber tersebut, kelompok penagih bisa menempatkan beberapa anggotanya
secara menyamar hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau
berbulan-bulan di dekat rumah orang yang ditagih. “Pokoknya
perintahnya, dapatkan orang yang ditagih itu dengan cara apa pun,”
ujarnya.
Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika orang yang
dicari-carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya namun orang
itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih. “Dengan
cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik anggota
keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya.
Dilanjutkannya,
ketika penagihan berhasil walaupun dengan cara diecer alias dicicil,
maka saat itu juga komisi diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total
tagihan Rp 1 miliar dengan perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam
pertemuan pertama si tertagih baru dapat membayar Rp 100 juta, maka
kelompok penagih langsung mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya
baru diserahkan kepada pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas.
Akhirnya walaupun si tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih
sudah memperoleh komisinya dari pembayaran-pembayaran sebelumnya,”
Dalam
‘dunia persilatan’ Ibukota, khususnya dalam bisnis debt collector ini,
kekerasan kerap muncul diantara sesama kelompok penagih utang. Ia
mencontohkan pernah terjadi bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang
IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji
saat itu sedang menagih seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang
itu, mendadak sang pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa
‘dipakainya’ untuk menagih utang pula.
“Hercules sempat ditembak
beberapa kali, tapi dia hanya luka-luka saja dan bibirnya terluka karena
terserempet peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di sebuah
rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah Hercules
juga terluka, tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya terbunuh dan
beberapa juga terluka,” tutupnya.
Selain jasa penagihan utang,
kelompok Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa pengawalan lahan dan
tempat. Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan banyak ‘klien’ tatkala
Basri Sangaji tewas terbunuh dan anggota keloompoknya tercerai berai.
Padahal Basri Sangaji bersama kelompoknya memiliki nama besar pula
dimana Basri CS pernah dipercaya terpidana kasus pembobol Bank BNI,
Adrian Waworunto untuk menarik aset-asetnya. Tersiar kabar, Jamal
Sangaji yang masih adik sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas
senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri menggantikan posisi Basri
sebagai pimpinan dengan dibantu adiknya Ongen Sangaji.
Kelompok
Jhon Kei pernah mendapat ‘order’ untuk menjaga lahan kosong di kawasan
perumahan Permata Buana, Kembangan Jakarta Barat. Namun dalam
menjalankan ‘tugas’ kelompok ini pernah mendapat serbuan dari kelompok
Pendekar Banten yang merupakan bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan
Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI).
Sekedar diketahui, markas
dan wilayah kerja mereka sebetulnya di Serang dan areal Provinsi
Banten. Kepergian ratusan pendekar Banten itu ke Jakarta untuk menyerbu
kelompok Jhon Kei pada 29 Mei 2005 ternyata di luar pengetahuan induk
organisasinya. Kelompok penyerbu itu pun belum mengenal seluk-beluk
Ibukota.
Akibatnya, seorang anggota Pendekar Banten bernama
Jauhari tewas terbunuh dalam bentrokan itu. Selain itu sembilan anggota
Pendekar Banten terluka dan 13 mobil dirusak. 3 SSK Brimob PMJ dibantu
aparat Polres Jakarta Barat berhasil mengusir kedua kelompok yang
bertikai dari areal lahan seluas 5.500 meter persegi di Perum Permata
Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar. Namun buntut dari kasus ini,
Jhon Kei hanya dimintakan keterangannya saja.
Sebuah sumber dari
kalangan ini mengatakan kelompok penjaga lahan seperti kelompok Jhon Kei
biasanya menempatkan anggotanya di lahan yang dipersengketakan.
Besarnya honor disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa pemiliknya, dan
siapa lawan yang akan dihadapinya
“Semakin kuat lawan itu, semakin
besar pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, bisa mencapai
milyaran rupiah. Perjanjian honor atau upah dibuat antara pemilik lahan
atau pihak yang mengklaim lahan itu milikya dengan pihak pengaman.
Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi sehari-hari bisa juga
diluarnya, misalnya untuk sebuah lahan sengketa diperlukan 50 orang
penjaga maka untuk logistik diperlukan Rp 100 ribu per orang per hari,
maka harus disediakan Rp 5 juta/hari atau langsung Rp 150 juta untuk
sebulan.
Selain pengamanan lahan sengketa, ada pula pengamanan
asset yang diincar pihak lain maupun menjaga lokasi hiburan malam dari
ancaman pengunjung yang membikin onar maupun ancaman pemerasan dengan
dalih ‘jasa pengamanan’ oleh kelompok lain, walau begitu tapi tetap saja
mekanisme kerja dan pembayarannya sama dengan pengamanan lahan
sengketa.
http://www.beritaunik.net/entertainment/kisah-hidup-para-preman-besar-tanah-air.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar